Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْتُلُوْٓا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun bunuh diri tanpa sengaja, maka hal itu diberikan ‘udzur dan pelakunya tidak berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخْطَأْتُم بِهِۦ وَلٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian sengaja. Akan tetapi, (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5)
Dengan demikian, aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatas-namakan jihad adalah sebuah penyimpangan (baca: pelanggaran syari’at). Apalagi aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah kaum muslimin tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّٰهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Israa’: 33)
Membunuh Muslim dengan Sengaja dan Tidak Sengaja
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأنِّي رَسُوْلُ اللّٰهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي والنَّفسُ بالنَّفسِ والتَّارِكُ لِدِيْنِهٖ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: [1] seorang lelaki beristri yang berzina, [2] nyawa dibalas nyawa (qishash), [3] dan orang yang meninggalkan agama (murtad) dan memisahkan dari jama’ah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللّٰهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Al-Mundziri, lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib)
Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar. Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah Ta’ala mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja, maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92)
Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk dalam pembunuhan tanpa sengaja. Sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan, meskipun dengan alasan jihad.
Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak
Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)
Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja, maka Allah Ta’ala mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah orang yang beriman, maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang beriman. Adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad), maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)
Wallahu a’lam.